Thursday, September 10, 2009

BERSAMA ORANG SOLEH DI DALAM BULAN RAMADHAN


Para sahabat, tabiin dan orang-orang soleh lainnya benar-benar mengetahui hikmah dari disyariatkannya puasa Ramadhan. Mereka meyakini, Allah tidaklah mensyariatkan puasa Ramadhan dengan sia-sia. Puasa Ramadhan tidak hanya sekadar meninggalkan kebiasaan makan dan minum saja. Tapi lebih dari itu, puasa disyariatkan guna mengingatkan manusia bahawa mereka memiliki Ilah yang harus diibadahi.

Segala praktik yang dilakukan para salafus soleh adalah praktik ibadah demi menggapai redha Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, "Seandainya umatku mengetahui apa yang terdapat pada Ramadhan, mereka berharap Ramadhan sepanjang tahun."

Pada bulan ini, Allah SWT memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan di bulan - bulan lain. Bayangkan, betapa Allah memuji bau mulut orang yang sedang shaum dengan menyatakannya lebih harum dari wewngian kasturi. Itu baru bau mulut saja, belum lagi praktik - praktik ibadah lainnya semisal membaca Al-Qur'an dan qiyaamullail.

Para sahabat menjadikan Ramadhan sebagai salah satu representasi kenikmatan terbesar yang diberikan Allah SWT kepada umat Islam. Sungguh menarik apa yang dilakukan para sahabat dalam menata kehidupannya setiap tahun.

Setiap puasa Ramadhan, Abu Hurairah ra dan para sahabat lainnya lebih banyak berdiam diri di masjid. "Kami menjaga puasa kami," begitu kata mereka. Selain itu, para salafush shalih senantiasa berhati-hati dalam berbicara. Di luar Ramadhan saja, mereka selalu berkata dengan perkataan baik, apalagi ketika Ramadhan. Pasalnya, rasulullah saw mewanti-wanti agar menjaga ucapan.

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, "Semua amalan anak-anak Adam untuknya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya. Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, 'Aku sedang berpuasa'. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wangi kasturi, orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan, jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya." (Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini milik Bukhari).

Dan di antara amalan-amalan ibadah yang utama dan dilakukan salafush shalih adalah qiyaamullail. Diriwayatkan, Abu Bakar ash-Shiddiq senantiasa melaksanakan shalat di malam hari dengan khusyuk dan sampai meneteskan air mata. Sementara Umar bin Khattab, setelah melakukan shalat malam, beliau membangunkan keluarganya untuk shalat malam sembari menyitir ayat al-Qur'an di surat Thaha ayat 132 yang berbunyi, "Dan perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberikan rizki kepadamu.Dan akibat itu adalah bagi orang yang bertakwa."

Begitu pula halnya dengan Manshur bin al-Mu'tamir. Jika malam yang semakin larut menjelang, dia langsung mengenakan pakaian terbaiknya lalu naik ke atap rumahnya, dan shalat. Tak ketinggalan juga Sufyan ats-Tsauri. Abdul Razaq, salah seorang muridnya, menceritakan, "Suatu saat, Sufyan ats-Tsauri mendatangiku selepas Isya, lalu aku menghidangkan makanan malam yang meliputi kismis dan pisang. Setelah selesai, ia bangkit untuk berwudhu lalu mengencangkan ikat pinggangnya dan menghadap kiblat. Lalu dia berkata, "Wahai Abdul Razaq! Beri makan keledai." Selanjutnya dia meluruskan kakinya dan shalat hingga waktu subuh menjelang."

Ibnu Wahab memiliki cerita lain lagi. Dia menceritakan, "Aku melihat Sufyan ats-Tsauri di Masjidil Haram selepas Maghrib. Dia melaksanakan shalat dan bersujud. Dia tidak mengangkat kepalanya sampai menjelang waktu Shalat Isya."

Meski tidur bernilai ibadah, para ulama justru mengekang keinginannya untuk mengatupkan mata. Itulah yang dilakukan oleh wanita salafus shalih, Mu'adzah al-'Adawiyah, yang senantiasa melakukan shalat malam, mengatakan, "Aku heran dengan mata-mata yang terpejam. Selama tertidur, aku membayangkan gelapnya kuburan, aku selalu menangis."

Ibnu Qayyim al-Jauziyah malah memberikan peringatan kepada kita tentang waktu tidur yang tidak disukai Allah. "Di antara tidur yang tidak di sukai adalah tidur di antara Subuh dan matahari terbit, karena ia merupakan waktu untuk memperoleh hasil."

Dari Abu Umamah ra diriwayatkan, Rasulullah mengajarkan kepada kita, "Barangsiapa shalat Subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir kepada Allah sampai terbitnya matahari, lalu ia mendirikan shalat dua rakaat, maka seakan-akan ia mendapatkan pahala haji dan umrah dengan sempurna."

Lalu, kapan waktu tidur? Imam al Ghazali memiliki tips yang sangat luar biasa memanfaatkan waktu untuk tidur dan mengumpulkan tenaga. Tidur dan istirahatlah menjelang shalat dzuhur atau sesudahnya. Kurang lebih selama 15 atau 30 menit. Al-Ghazali menceritakan, "Qailullah adalah simpanan energi bagi mereka yang ingin melakukan qiyamul lail pada hari itu."

Dalam Kitab al-Muwatha, Imam Malik menuturkan, Abdullah bin Abi Bakar mengulang perkataan ayahnya yang mengatakan, "Setiap setelah melangsungkan shalat malam, kita menginstruksikan pembantu untuk menyiapakan makanan, karena dikhawatirkan fajar segera menyingsing."

Bahkan, Imam Malik memiliki kebiasaan memaksimalkan kemuliaan Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Caranya, selama bulan Ramadhan, Imam Malik menutup rapat semua kitab, tidak berfatwa dan tidak melayani diskusi dengan orang lain. "Bulan ini adalah Ramadhan, bulannya al-Qur'an," ujar beliau sambil menunjukkan mushafnya.

Sedangkan Imam Ahmad memiliki kebiasaan tersendiri setiap kali Ramadhan datang menghampiri dengan segala kemuliaannya. Sejak hari pertama Ramadhan, beliau akan memasuki majid dan menetap didalamnya. Bertasbih dan istighfar, memuji dan memohon ampunan. Setiap kali ia berhadas, maka Imam Ahmad berwudhu dan kembali ke dalam masjid melakukan aktivitasnya. Ia tidak pernah pulang ke rumah kecuali untuk makan, minum dan tidur barang sebentar. Mereka semuanya ingin mereguk kemuliaan Ramadhan dengan sempurna, dan tak ingin memiliki penyesalan ketika bulan mulia itu berakhir masanya.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggarisbawahi pentingnya berdiam diri di masjid di dalam bulan Ramadhan. "Allah mensyariatkan ibadah puasa atas mereka untuk menghilangkan kebiasaan makan dan minum secara berlebihan, serta membersihkan hati dari noda - noda syahwat yang menghalangi hamba menuju Penciptanya. Disyariatkan pula I'tikaf, dan dengan ibadah ini ditambatkan hati untuk selalu mengingat Allah, menyendiri dengan-Nya, menghentikan segala kesibukan yang berhubungan dengan makhluk-Nya dan menghabiskan waktu hanya untuk Allah semata. Sehingga kegundahan dan luka hati, terhapus dan diisi dengan dzikrullah, mencintai dan menghadap pada-Nya."

Selain shalat malam, para salafush shalih juga mengisi Ramadhan dengan aktivitas membaca al-Qur'an. Lihatlah, di bulan Ramadhan, Utsman bin 'Affan menamatkan bacaan al-Qur'an sekali setiap harinya. Sedangkan az-Zuhri, diceritakan mengurangi kegiatan mendengar hadist dan majelis ilmu untuk lebih banyak berinteraksi dengan al-Qur'an. Sementara Ibrahim an-Nakha'i, jika memasuki hari kesepuluh terakhir di bulan Ramadhan, mengkhatamkan al-Qur'an setiap malam.

Selain itu, para sahabat juga berlumba-lumba memberi makan dan menyediakan buka puasa untuk kaum Muslimin. Bahkan diriwayatkan, setiap Ramadhan, Ibnu Umar selalu berbuka bersama para dhu'afaa, orang-orang yatim dan miskin.

Dari sini dapat ditarik pelajaran, Ramadhan sejatinya disambut kaum Muslimin dengan kesadaran tinggi akan pentingnya ibadah dan keredhaan Allah SWT.


Sumber:HALAQAH.NET

Tuesday, September 8, 2009

MARWA AS-SHARBINI: MATI SYAHID KERANA TUDUNGNYA





Tidak banyak liputan TV tentang Marwa Al-Sharbini, seorang ibu yang punya seorang anak, sedang mengandung tiga bulan, mati akibat ditikam 18 kali oleh seorang pemuda Jerman keturunan Rusia yang anti-Islam dan anti-Muslim. Tidak ramai pula di kalangan orang Islam sendiri sedar tentang tragedi kejam ini. Yang mereka lebih tahu ialah kematian Raja Pop. Itupun kerana media, terutama TV melampau-lampau liputannya. Berhari-hari, bahkan berminggu masih belum reda isunya.

Ribuan penduduk Mesir menghantar jenazah Marwa ke tempat pengkebumiannya. Beliau tidak sepopular artis tersohor, MJ, tetapi pastinya beliau tersohor di kalangan penduduk langit kerana mempertahankan harga diri, maruah dan agamanya melalui tudungnya, yang dengannya ia syahid. Satellite Marwa ditikam di ruang mahkamah kota Dresden, Jerman sebelum memberikan keterangan atas kesnya. Ia mengadu tentang seorang pemuda Jerman bernama Alex W yang kerap menyebutnya “terrorist” hanya disebabkan beliau berjilbab.

Dalam suatu kesempatan, pemuda itu bahkan pernah menyerang Marwa dan berusaha melepas jilbab Muslimah berasal dari Mesir itu. Di saat berada di mahkamah itulah, Alex kembali menyerang Marwa, kali ini ia menikam Marwa berkali-kali. Suami Marwa yang berusaha melindungi isterinya, terkena tembakan pihak berkuasa yang berdalih tidak sengaja menembak suami Marwa yang kini dalam keadaan kritikal di hospital di Dresden.

Dalam sejarah Islam, seorang wanita Islam cuba dicabul kehormatan dan maruah dirinya oleh seorang Yahudi. Lantas pemuda Islam tangkas membantu hingga menyebabkan pergaduhan antara Yahudi dan orang Islam. Di zaman Khalifah Mu’tasim, seorang wanita meminta tolong dengan berkata: ‘Waa Mu’tasimah!’. Mu’tasim yang berada begitu jauh darinya, apabila mendapat berita tersebut terus menghantar bantuan untuknya.

Hari Jilbab Antarabangsa Umat Islam kini, apa yang dibuatnya? Media dunia umat Islam sendiri hanya pentingkan berita pengkebumian Michael Jackson sendiri. Tiada liputan besar-besaran untuk Marwa, melainkan media Islam khususnya di internet. Untuk mengingati peristiwa ini, Hari Jilbab Antarabangsa dicadangkan bagi mengenang Marwa as-Sharbini. Usul itu dilontarkan oleh Ketua Perhimpunan Mempertahankan Hijab, Abeer Pharaon melalui Islamonline.

Abeer mengatakan, Marwa Al-Sharbini adalah seorang syahid bagi perjuangan muslimah yang mempertahankan jilbabnya. “Ia menjadi korban Islamofobia, yang masih dialami ramai orang Islam di Eropah. Kematian Marwa layak untuk diperingati dan dijadikan sebagai Hari Hijab Sedunia,” kata Abeer. Seruan Abeer disambut oleh beberapa orang tokoh Muslim, di antaranya Rawa Al-Abed dari Persekutuan Persatuan Islam di Eropah.

“Kami mendukung cadangan ini. Kami juga menyeru agar diwar-warkan kempen seperti ini untuk meningkatkan kesedaran tentang hak-hak muslimah di Eropah, termasuk hak mengenakan jilbab,” kata Al-Abed.

Profesor bidang teologi dan falsafah dari Universiti Al-Azhar, Amina Nusser juga memberikan dokongannya atas cadangan Hari Jilbab Antarabangsa yang boleh dijadikan momentum untuk memberi tindakbalas sikap anti-jilbab di Barat. “Hari peringatan itu akan menjadi kesempatan bagi kita untuk mengingatkan Barat agar bersikap adil terhadap para muslimah dan kesempatan untuk menunjukkan pada Barat bahawa Islam menghormati hak beragama,” tegas Nusser.

Nusser menegaskan bahawa hak seorang muslimah untuk berpakaian sesuai dengan ajaran agamanya, tidak berbeza dengan hak penganut agama lain. Ia mengingatkan, kaum perempuan penganut Kristian Ortodoks juga mengenakan tudung sebelum masuk ke gereja. Sokongan untuk mengadakan Hari Jilbab Antarabangsa itu juga datang dari Persatuan Muslim Denmark. Ketuanya, Mohammed Al-Bazzawi.

“Hari Jilbab untuk mengingatkan masyarakat Barat bahawa hak muslimah untuk mengenakan jilbab sama dengan hak perempuan non-Muslim yang boleh mengenakan busana apa saja. Mereka di Barat yang berbicara soal hak perempuan, selayaknya menyedari bahawa mereka juga tidak boleh mengabaikan hak seorang perempuan untuk mengenakan jilbab,” ujar Mohammed Al-Bazzawi.

Gerakan Islam di rantau Asia juga wajar mengambil inisiatif menganjurkan Hari Jilbab Antarabangsa tersebut sebagai tanda solidariti umat Islam. Dewan Muslimat PAS dan NGO berkaitan boleh mengambil peranan ini. Akhbar Jerman perleceh Marwa as Sharbini Surat khabar Jerman, Die Welt versi online memuatkan komentar-komentar pembacanya yang berisi penghinaan dan pernyataan anti-Arab dan anti-Muslim.

Komentar-komentar itu adalah reaksi pembaca atas artikel berjudul “Islamisten fordern Vergeltung für Mord im Gericht” yang diterbitkan berkaitan kes Marwa Al-Sharbini itu. Salah satu pemberi komen misalnya, menyarankan agar pelaku pembunuhan Marwa diberi tanda jasa “Federal Cross of Merit”. Pemberi komen lainnya menyebut Marwa “toilet” dan masih banyak lagi komentar-komentar lainnya yang isinya jelas membela pembunuh Marwa dan melecehkan Marwa.

Pihak Die Welt pula anehnya, enggan menolak untuk menghapuskan komentar-komentar yang provokatif itu, seiring dengan sikap media massa Jerman lain untuk tidak menulis berita tentang insiden yang menimpa Marwa. Media Jerman menganggap kes pembunuhan Marwa yang berlatar belakang islamofobia itu bukan kes yang serius. Sikap media Jerman mungkin akan berbeza jika yang dibunuh adalah seorang non-Muslim Jerman dan pelakunya seorang Muslim.

Sementara itu, atas sikap akhbar Die Welt online, website Ikhwanul Muslimin menyeru kaum Muslimin untuk menyampaikan email protes kepada akhbar tersebut agar menghapuskan komentar-komentar yang rasis dan anti-Muslim, melalui alamat email: online@welt.de



Sumber:ILuvislam

Sunday, September 6, 2009

Nuzul Quran dan Lailatul Qadr


Peristiwa nuzul al-Quran menjadi satu rakaman sejarah dalam kehidupan Nabi SAW hingga seterusnya berperingkat-peringkat menjadi lengkap sebagaimana kitab al-Quran yang ada pada kita hari ini. Peristiwa Nuzul al-Quran berlaku pada malam Jumaat, 17 Ramadan, tahun ke-41 daripada keputeraan Nabi Muhamad SAW. Perkataan ‘Nuzul’ bererti turun atau berpindah dari atas ke bawah. Bila disebut bahawa al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi SAW maka ianya memberi makna terlalu besar kepada umat Islam terutamanya yang serius memikirkan rahsia al-Quran.

‘Al-Quran’ bererti bacaan atau himpunan. Di dalamnya terhimpun ayat yang menjelaskan pelbagai perkara meliputi soal tauhid, ibadat, jinayat, muamalat, sains, teknologi dan sebagainya. Kalimah al-Quran, sering dicantumkan dengan rangkai kata ‘al-Quran mukjizat akhir zaman’ atau ‘al-Quran yang mempunyai mukjizat’. Malah inilah sebenarnya kelebihan al-Quran tidak ada satu perkara pun yang dicuaikan atau tertinggal di dalam al-Quran. Dengan lain perkataan segalanya terdapat di dalam al-Quran. Firman Allah:

Dan tidak seekor pun binatang yang melata di bumi, dan tidak seekor pun burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka umat-umat seperti kamu. Tiada Kami tinggalkan sesuatu pun di dalam kitab Al-Quran ini; kemudian mereka semuanya akan dihimpunkan kepada Tuhan mereka (untuk dihisab dan menerima balasan). (Al-An’am:38)


Al-Quran adalah hidayah, rahmat, syifa, nur, furqan dan pemberi penjelasan bagi manusia.. Segala isi kandungan al-Quran itu benar. Al-Quran juga dikenali sebagai Al-Nur bererti cahaya yang menerangi, al-Furqan bererti yang dapat membezakan di antara yang hak dan batil dan al-Zikr pula bermaksud yang memberi peringatan.


Dalam sejarah kehidupan Nabi SAW ayat al-Quran yang mula-mula diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibrail ialah lima ayat pertama daripada surah Al-‘Alaq. maksudnya:

”Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhan mu yang menciptakan (sekalian makhluk), Ia menciptakan manusia dari sebuku darah beku; Bacalah, dan Tuhan mu Yang Maha Pemurah, -Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, -Ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘alaq:1-5)



Hubungan Lailatul Qadar dan Nuzul al-Quran

Lailatul Qadar pula ialah suatu malam pada bulan Ramadhan yang begitu istimewa sekali fadilatnya. Malam al-Qadar adalah suatu malam yang biasanya berlaku pada 10 akhir Ramadhan dan amalan pada malam itu lebih baik baik dari 1000 bulan.

Apakah kaitannya malam al-Qadar dengan nuzul al-Quran? Sebenarnya al-Quran dan malam Lailatulqadar mempunyai hubungan yang rapat antara satu sama lain sebagaimana yang diterangkan di dalam kitab Allah dan hadis Rasulullah SAW di antaranya firman Allah SWT

Maksudnya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar, Dan apa jalannya engkau dapat mengetahui apa dia kebesaran Malam Lailatul-Qadar itu? Malam Lailatul-Qadar lebih baik daripada seribu bulan. Pada Malam itu, turun malaikat dan Jibril dengan izin Tuhan mereka, kerana membawa segala perkara (yang ditakdirkan berlakunya pada tahun yang berikut); Sejahteralah Malam (yang berkat) itu hingga terbit fajar! (al-Qadar:1-5)


Mengikut satu pandangan, ayat ini diturunkan berdasarkan satu riwayat dari Ali bin Aurah, pada satu hari Rasulullah SAW telah menyebut 4 orang Bani Israel yang telah beribadah kepada Allah selama 80 tahun. Mereka sedikit pun tidak derhaka kepada Allah, lalu para sahabat kagum dengan perbuatan mereka itu. Jibril datang memberitahu kepada Rasulullah SAW menyatakan bahawa Allah SWT menurunkan yang lebih baik dari amalan mereka. Jibril pun membaca surah al-Qadar dan Jibril berkata kepada Rasulullah ayat ini lebih baik daripada apa yang engkau kagumkan ini menjadikan Rasulullah SAW dan para sahabat amat gembira.

Dalam hadis yang lain Aishah juga meriwayatkan bahawa Rasulullah SAW bersabda bersedialah dengan bersungguh-sungguh untuk menemui malam Lailatul qadar pada malam-malam yang ganjil dalam 10 malam yang akhir daripada bulan Ramadhan.


Panduan

Dari maklumat serba sedikit di atas tadi sebenarnya banyak boleh dijadikan panduan kepada umat Islam seluruhnya. Antara panduan berkenaan ialah seperti:

1. Tidak ada perkara yang tidak terdapat dalam al-Quran

2. Ayat pertama diturunkan ialah ‘iqra’ iaitu ‘baca’ dan Tuhan mengajarkan manusia melalui perantaraan Pena dan Tulisan.

3. Kelemahan umat Nabi Muhammad beribadat maka dianugerahkan satu masa yang apabila kita mendapatkannya kita akan digandakan pahala melebihi seribu bulan.


Apabila disebutkan bahawa tidak ada perkara yang tidak terdapat di dalam al-Quran itu maka ianya memberikan makna bahawa segala ilmu pengetahuan yang merangkumi fardu ‘ain dan fardu kifayah dalam segenap aspek kehidupan merangkumi ekonomi, sosial, perundangan, pendidikan, sains dan teknologi dan lain-lain, segalanya terdapat dalam al-Quran. Tafsiran, kupasan analisa dan penyelidikan membolehkan umat Islam maju mendahului umat-umat lain di dunia ini.

Manakala penurunan al-Quran pula didahului dengan suatu kalimah ‘iqra’ iaitu ‘baca’ di mana membaca adalah kunci kepada penerokaan ilmu. Selepas itu pula Allah mengiringi dengan ayat yang bermaksud; Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, -Ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” Keadaan ini menguatkan lagi bahawa pembacaan dan penulisan itu menjadi antara perkara yang paling penting dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Di mana sebagaimana diketahui umum melalui satu ungkapan bahawa: “ilmu pengetahuan dan teknologi itu adalah kuasa”.

Perkara ketiga ialah hikmah dari anugerah malam al-qadar kepada umat Nabi Muhammad SAW sebagai umat akhir zaman. Mengetahui kelemahan umat Islam akhir zaman ini dalam beribadah maka dianugerahkan satu peluang di mana ibadah yang dilaksanakan pada malam itu digandakan sehingga 1000 bulan. Bermakna kiranya kita dapat melaksanakan ibadah dengan penuh keimanan di 10 akhir Ramadhan, kita akan berpeluang mendapat malam al-Qadar. Ini akan menjadikan kita seolah-olah beramal ibadah selama 1000 bulan iaitu sekitar 83 tahun. Menjadikan kita seolah-olahnya menghabiskan seluruh hidup kita dan usia kita dalam ibadah.

Mencari Malam Al-Qadar

Bagi mencari malam-malam yang berkemungkinan sebagai malam al-qadar, maka kalangan ulama ada menyatakan bahawa, malam-malam yang ganjil yang tersebut ialah malam 21, 23, 25, 27 & 29 dari bulan Ramadhan. Dalam pada itu terdapat juga beberapa hadis yang menyatakan bahawa malam al-qadar itu pernah ditemui dalam zaman Rasulullah SAW pada malam 21 Ramadhan. Pernah juga ditemui pada malam 23 Ramadhan. Terdapat juga hadis yang mengatakan bahawa baginda Rasulullah SAW. menjawab pertanyaan seorang sahabat yang bertanya mengenai masa Lailatulqadar supaya ianya bersedia dan menghayatinya. Baginda menjelaskan malam Lailatulqadar itu adalah malam 27 Ramadhan.

Dari keterangan-keterangan di atas dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa malam Lailatulqadar itu berpindah dari satu tahun ke satu tahun yang lain di dalam lingkungan 10 malam yang akhir dari bulan Ramadhan. Yang pastinya bahawa masa berlakunya malam Lailatulqadar itu tetap dirahsiakan oleh Allah SWT supaya setiap umat Islam menghayati 10 malam yang akhir daripada Ramadhan dengan amal ibadat. Dengan beribadah di sepuluh malam terakhir itu, mudah-mudahan akan dapat menemuinya sebagai bekalan kehidupan akhirat.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulannya marilah kita sama-sama menghayati nuzul al-Quran ini sebagai suatu peristiwa besar yang penuh makna dan hikmah. Kita seharusnya melihat al-Quran itu sebagai ‘kitab induk’ panduan Ilmu pengetahuan untuk memajukan manusia seluruhnya. Memajukan manusia yang lebih penting adalah memajukan umat Islam terlebih dahulu melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Membaca al-Quran itu adalah suatu ibadah.

Sekarang bolehlah kita panjangkan ‘membaca’ al-Quran itu kepada menganalisa, mengkaji, menyelidiki dan mencari rahsia ilmu pengetahuan di dalam al-Quran dan seterusnya menghasilkan penulisan-penulisan yang akhirnya memajukan dunia ini dan khasnya memajukan umat Islam dan seterusnya mengeluarkan umat Islam dari belenggu kelemahan dan penghinaan. Umat Islam juga perlu mempertingkatkan amal ibadah terutamanya mengejar anugerah Tuhan yang tidak terhingga kepada umat Islam akhir zaman. Beribadah di 10 akhir Ramadhan memberikan kita peluang keemasan ganjaran pahala seolah-olah beribadah sepanjang hidup kita iaitu 1000 bulan (sekitar 83 tahun).


Dapatkan Mesej Bergambar di Sini


Sudah memasuki malam ke 17 kita berterawih. Bagi setengah-setengah surau dan masjid, majlis tadarus dilaksanakan. Alangkah baiknya. Lagi ramai jemaah menyertainya, lagilah baik dan bersinar suasana surau dan masjid tersebut.


Di surau saya saban malam (bulan ramadan) lebih kurang adalah 5 hingga 10 orang, kadangkala kurang kadangkala lebih. Mungkin ramai memilih bertadarus di rumah dan sebahagian pula bertidur -terus.


Ada yang istiqamah dikebanyakan malam, ada pula yang datang silih berganti. Masing-masing berlatarbelakang pelbagai jenis kerja, pendidikan dan perangai. Begitulah saban tahun, silih berganti selagi masih ada iman untuk ke surau dan masjid dan of course …selagi masih ada nyawa di badan.

Semasa inilah (majlis tadarus) baru terdedah rahsia di dalam rahsia. Pelbagai rentak dan gaya dalam membaca ayat-ayat al Quran. Ada jemaah yang penampilan dan pemakaiannya begitu berkarisma tetapi kemampuan bacaaannya lemah. Ada yang selalu sempoi tapi bacaannya baik pula. Ada yang membaca dengan kelihatan begitu fasih namun tajuwidnya banyak lintang pukang. Geramnya, bila ditegur, dibuat selamba. Ada yang seperti bertatih namun caranya begitu sopan,bila ditegur diikutinya. Dimulakan semua dengan kemas dari awal ayat, (bukan sebarangan dibetulkan pada ayat itu sahaja). Nyata dia tahu dia lemah tapi dia sedang dalam pengajian dengan ustaz. Ini bukan kisah kanak-kanak atau remaja bawah umur 18 tahun. Ini kisah rema-tua atau insan-insan yang ada kanak-kanak sebagai anak-anak.

Saya masih tidak dapat lupa (kisah lama), seorang sahabat yang istiqamah bersolat jemaah namun bila bertadarus, amat meranjatkan saya- sangat perlu pergi kelas- Urgent case. Saya telah menegurnya secara baik dan beliau menerimanya. Semoga beliau telah boleh membaca alQuran dengan baik.

Inilah hakikat sebuah drama kisah benar majlis tadarus al Quran. Tak tahulah pula keadaan di surau dan masjid lain. Jemah-jemaah yang hadir ini boleh dikira bagus kerana kesanggupan mereka. Bagaimanalah agaknya keadaan mereka yang lain.

Kenapa wujud keadaan “membaca tidak betul, tidak bagus?” Ia tidak lain kerana tidak belajar membaca dan kurang membaca.

Kalau membaca ayat Al Quran pun tidak. Bila pula kita nak membaca terjemahannya. Memahami tafsirannya. Melaksanakan tuntutan dan perintah dalamnya. Salah siapa???

Mesej penting yang saya nak sampaikan kepada kesemua ialah jika diri sendiri tahu diri sendiri lemah (patut tahu) segera belajar dengan guru quran bertauliah! Jgn tunggu lagi.

Terlalu banyak perlanggaran dan kesalahan. Sama ada dari segi tajuwid dan etika dalam membaca al-Quran. Masih ramai membaca dengan cara tak betul, 1 harkat jadi 2 harkat, huruf lain sebut lain. Ini kes berat. Belum lagi kesalahan cara mulakan semula bacaan setelah tersilap, ketepatan meletakkan harakat, sifat huruf dll.

Ingatlah! Janganlah sampai kita kepada keadaan bahawa kita membaca al Quran tetapi al Quran mencela dan mengutuk kita.

Biapun kita dah dewasa atau berusia, Belajarlah. Belajarlah secara intensif sebelum menjelang Ramadan tahun depan. Di surau saya terdapat segolongan dewasa (termasuk yang dah mempunyai anak yang dah dewasa) rajin mengikut kelas al Quran dan hasilnya sudah tentu semakin baik bacaannya. Peruntukanlah masa dalam kesibukan kerjaya.

Di Batu Pahat sahaja ramai guru bertauliah. Antara yang terbaik ialah Imam Ahsin, Parit Besar. I knowlah, I am talking tru experience.

Semoga semua mengambil iktibar. Kisah ini walaupun benar tetapi tidak dikhususkan kepada sesiapa. Janganlah terasa ‘pedas’ ye walaupun anda yang makan cili.

Justeru, Pergilah Belajar Mengaji. Jgnlah ditangguh. Mengajilah dengan betul. Janganlah sampai dicela al-Quran.....

Allah juga yang lebih Mengetahui.

Tuesday, September 1, 2009

LEVEL OF LOVE BASED FROM AL-QURAN






Menurut hadis Nabi: Orang yang sedang jatuh cinta, cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai’an katsura dzikruhu).

Sabda Nabi: Orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa `abduhu).

Sabda Nabi juga: ciri dari cinta sejati ada tiga -
(1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain,
(2) lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan
(3) lebih suka mengikuti kemahuan yang dicintai dibanding kemahuan orang lain/diri sendiri.

Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada Allah SWT, maka ia lebih suka berbicara dengan Allah SWT, dengan membaca firman Nya, lebih suka bercengkerama dengan Allah SWT dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Allah SWT daripada perintah yang lain.

Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:

1. Cinta mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan “nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, mahunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.

2. Cinta rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih walaupun ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.

Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antara orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham , yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim.

Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim ertinya menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia akhirat.

3. Cinta mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedut seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama.

4. Cinta syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) boleh jadi seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyedari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, isteri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.

5. Cinta ra’fah, iaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak sanggup membangunkannya untuk solat, membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kes hukuman bagi pezina (Q/24:2).

6. Cinta shobwah, iaitu cinta buta, cinta yang mendorong kelakuan yang menyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ni ketika mengisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min al jahilin (Q/12:33)

7. Cinta syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahawa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhika wa as syauqa ila liqa’ika,
aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.

Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab “Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin”, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, (hurqat al mahabbah wa il tihab naruha fi qalb al muhibbi).

8. Cinta kulfah yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, la yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286)




Sumber-iluvislam

Mengempang Atau Menahan?



Minggu lalu saya dan seorang kenalan rapat berbincang tentang persediaan menghadapi bulan puasa. Perbincangan tidak tertumpu pada persediaan perbelanjaan mahupun menu masakan berbuka atau bersahur, tetapi lebih kepada usaha untuk meningkatkan kualiti puasa – daripada puasa orang awam ke tingkat puasa orang soleh (setidak-tidaknya).

“Puasa ertinya menahan. Bulan puasa ialah bulan menahan. Apa yang kita tahan?” Tanya sahabat saya.

Saya kira dia hanya ingin memeriahkan perbincangan. Kedudukannya sebagai ustaz tentunya sudah arif tentang segala puasa dan selok-beloknya.

“Menahan nafsu. Nafsu yang menjadi punca kejahatan dalam diri,” jawab saya ringkas.

“Nafsu tidak boleh dihapuskan. Tetapi perlu dikawal. Dan syarat pertama untuk kita dapat mengawal sesuatu ialah kita mesti mampu menahannya terlebih dahulu.”

“Bila kita mampu mengawal nafsu, barulah kita mampu mengawal diri.”

“Mengawal nafsu seperti mengawal kereta, kita mesti ada brek. Dengan brek kita boleh berhenti. Tapi bila brek sudah rosak atau haus, maka kereta akan meluncur hingga terbabas.”

“Benarkan puasa kita selama ini sudah berfungsi sebagai brek pada nafsu kita? Benarkan puasa kita sudah menahan? Atau sekadar mengempang? tanya saya.

“Maksud awak?”

“Siang kita mengempang nafsu makan, bila berbuka kita lepaskan semahu-mahunya. Jika demikian, puasa kita bukan melemahkan kejahatan nafsu, malah melatihnya agar lebih kuat hingga menjadi jana kuasa,” jelas saya.

“Betul tu, selalunya apabila bulan puasa, makanan yang disediakan untuk berbuka jauh lebih enak, lebih banyak berbanding bulan-bulan yang lain. Itu mengempang nafsu, bukan menahannya!”

“Belanja dapur bertambah daripada biasa. Nafsu tidak terdidik. Hati pula menjadi resah. Fizikal lembap. Tujuan puasa tidak kesampaian. Rugi dunia, rugi akhirat.”

“Jadi mulakan langkah meningkatkan puasa dengan biasa-biasa sahaja sewaktu berbuka. Percayalah, bila lapar, kita lebih berselera. Hanya nafsu sahaja yang merasuk bukan-bukan. Nak itu, nak ini.”

Utamakan “Jangan”

Dalam pergaulan kita dituntut supaya lebih utamakan “jangan”daripada “suruh”. Misalnya: Jangan mengumpat lebih utama daripada memberi nasihat. Ertinya, jika kita tidak mampu memberi nasihat kepada seseorang tidak mengapa, tetapi yang lebih utama jangan mengumpatnya. Jika tidak dapat membantunya, tidak mengapa asalkan jangan menyusahkan. Tak mengapa jika tidak dapat memberi asalkan jangan mencuri. Begitu saya dengar melalui pengajian tafsir Al-Quran tentang pergaulan dalam Islam bulan lalu.

“Saya rasa dalam puasa pun begitu juga,” luah saya kepada sahabat sepengajian.

“Maksudnya, jangan buat lebih utama daripada suruh buat?”

“Saya rasa begitu. Tapi nanti kita tanyalah kepada yang lebih arif. Tetapi dalam Ihya’ Ulumuddin jelas dinyatakan, meninggalkan mengumpat pada siang hari lebih utama daripada solat sunat pada malam hari atau qiamullail."

“Dan itu sinonim dengan sebuah hadis yang menjelaskan betapa seorang wanita dikatakan ahli neraka, walaupun banyak solatnya pada malam hari dan banyak puasanya pada siang hari kerana lidahnya selalu menyakiti hati jirannya,” tambah sahabat saya.

“Hairan, walaupun pada bulan puasa begitu ramai orang yang solat tarawih dan membaca Al-Quran, tetapi persaudaraan dan perpaduan di kalangan kita tidak bertambah kukuh,” balas saya seolah-olah menukar hala perbincangan.

“Apa kaitannya antara tarawih dengan perpaduan, baca Al-Quran dengan persaudaraan?” tanya sahabat saya. Dia faham perubahan saya. Sudah lama kami bersahabat. Dia selalu melihat saya mengubah “rencah” tanpa mengubah kuah.

“Bersolat, membaca Al-Quran itu meningkatkan iman. Apabila iman meningkat, ukhuwah secara automatik akan meningkat. Iman dan ukhuwah terhubung secara berkadar terus. Jika ukhuwah bermasalah itu petanda iman juga bermasalah.”

“Kenapa agaknya? Solat tarawih dan baca Al-Quran pada bulan puasa tidak meningkatkan iman dan persaudaraan?”

“Sebab kita terlupa perkara “jangan”. Banyak perkara “jangan” yang kita buat walaupun pada masa yang sama banyak perkara “suruh” yang kita laksanakan.”

“Maksudnya?”

“Banyak baca al-Quran tetapi mengumpat kita buat juga. Banyak solat, tetapi hasad dengki terus dilayan. Banyak yang sunat-sunat kita buat, tetapi pemarah, prasangka, malas terus kita ikutkan.”

“Jadi kau rasa elok sahaja kita tinggalkan ‘jangan’ walaupun tidak buat apa yang disuruh?”

“Jangan pula begitu… kita bercakap tentang usaha meningkatkan puasa. Ya, cuba kita tingkatkan puasa tahun ini dengan meninggalkan perkara ‘jangan’ di samping membuat perkara ‘suruh’!”

Bergaduh Pasal Moreh

Percaya atau tidak, ada ahli jemaah masjid yang berkrisis kerana berebut giliran buat kenduri moreh.

“Tak patut, dia ambil malam jumaat. Sedangkan saya dah booking dulu. Ah, mentang-mentanglah dia ada pangkat, ada duit, giliran saya dikebasnya. Entah-entah AJK masjid pun dah bersubahat sama.”

“Tenanglah Pak Haji, niat dan usaha Pak Haji telah dinilai oleh Allah. Memberi makan orang berbuka puasa ini sangat besar nilaiannya di sisi Allah.”

“Sebab tu saya nak malam Jumaat. Lebih berkat. Malah lebih ramai ahli qariah kita yang dating. Ni saya dapat malam Selasa, orang kurang. Kalau dapat malam minggu, kira OK juga.”

“Sabar la Pak Haji. Kami semua faham hasrat Pak Haji tu. Lagipun belum tentu malam Selasa tu tak ramai orang. Kadang-kadang mengejut sahaja musafir dan pekerja-pekerja asing dating berbuka di masjid kita ni.”

“Saya tak mahu musafir. Saya tak hendak pekerja-pekerja Bangla, Pakistan yang ramai…Saya nak orang tempatan makan kenduri saya.”

“Eh Pak Haji, yang paling utama kita berikan makanan bukankah orang yang lebih memerlukan? Musafir tu orang yang penat. Berhenti rehat dan solat. Kekadang kurang belanja atau tak sempat beli makanan, eloklah dia makan kenduri kita. Pekerja asing tu, kekadang lebih susah dan melarat. Bagus kalau kita menolong orang yang susah.”

“Mereka tu mana kenal saya? Saya nak orang qariah ini, itu lebih utama. Musafir dan pekerja asing ni siapa? Saya tak kenal mereka, mereka tak kenal saya.”

“Yang penting mereka saudara kita. Allah kenal kita semuanya Pak Haji. Puasa mengajar kita ikhlas. Ia ibadah paling tersembunyi, kita curi-curi makan atau sembunyi-sembunyi minum pun orang tak tahu. Allah sahaja yang tahu, tidak seperti solat, haji dan zakat, orang Nampak kita lakukannya. Usahlah bergaduh kerana nak buat baik Pak Haji…”

Itu cerita benar, tahun lepas saya alaminya. Tahun-tahun ini kita akan dengar cerita yang serupa walaupun dalam versi yang berbeza. Betapa agama menjadi ritual yang kosong makna. Masih ramai yang “menyembah” diri dalam sangka menyembah Ilahi.


Sumber-iluvislam